Home » » Muhasabah dan Muroqobah, Jalan Menuju Taqwa

Muhasabah dan Muroqobah, Jalan Menuju Taqwa

Drs H. M Sudjak, M.Ag

Tak terasa ternyata kita sudah memasuki tahun 1434 H. Dengan bertambahnya tahun, maka bertambahlah jumlah usia kita. Dan dengan semakin bertambahnya jumlah umur kita, maka pada hakekatnya semakin berkuranglah jatah hidup kita di dunia ini. Dan semakin berkurangnya jatah hidup kita di dunia ini, maka semakin dekatlah panggilan Allah SWT, untuk mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatan kita di dunia ini. Mulai yang terbesar, hingga yang terkecil, mulai yang terbanyak hingga yang tersedikit, mulai yang tampak, hingga yang tidak tampak sekalipun, semuanya akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Sudah siapkah kita, jika sewaktu-waktu dipanggil Allah SWT ? 

Memasuki tahun baru Islam ini, ada dua pokok yang sangat mendasar yang harus kita perhatikan bersama, dalam rangka mengisi lembaran yang baru saja kita buka ini. Pertama, meningkatkan hubungan yang baik secara vertical kepada Allah SWT. Namun sebelum melangkah ke sana, hendaknya kita awali langkah kita dengan bermuhasabah (evaluasi) diri kita, sudahkan kita berbuat kebaikan melebihi perbuatan dosa kita? Ini harus kita lakukan. (lihat QS Al Hasyr :18). 

Dalam rangka meningkatkan hubungan vertical kita kepada Allah itu, maka yang harus kita perhatikan adalah kualitas shalat kita. Apakah shalat kita sudah didirikan dengan istoqamah? Jika sudah, maka evaluasi ini kita kembangkan lagi, kepada keluarga kita, yakni anak, isteri, dan seluruh anggota keluarga. Terutama kepada anak-anak kita, karena di zaman yang modern dengan kemajuan produk tehnologinya ini merupakan tantangan yang berat dihadapi oleh anak-anak.Kemudian, evaluasi yang terkait dengan zakat. Sudahkah harta kita dihitung, dan jika sudah mencapai nisab apakah sudah dikeluarkan zakatnya? Apakah sudah kita keluarkan untuk infaq dan shadaqah? Evaluasi berikutnya adalah tentang puasa. Terutma puasa Ramadhan yang telah kita laksanakan, apakah pasca puasa Ramadhan, masih ada bekasnya hingga sekarang? Artinya puasa yang berfungsi sebagai tarbiyah sebulan penuh, untuk kita aplikasikan di sebelas bulan berikutnya ini sudah benar-benar kita lakukan? 

Selanjutnya yang juga harus kita evaluasi adalah haji. Jika kita sudah melaksanakan panggilan Allah untuk menunaikan ibadah haji. Apakah haji kita sudah termasuk haji yang mabrur? Dan apakah hingga kini atau yang akan datang bisa terus mempertahankan kemabrurannya? Dan kemudian bagi kita yang belum mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk menunaikan ibadah haji, sudahkan berusaha untuk mencapai istitha’ah (kemampuan) untuk menunaikan ibadah haji? 

Kedua, meningkatkan hubungan baik secara horizontal kepada sesama makhluk, utamanya manusia. Ada tiga hal yang perlu kita perhatikan. Pertama, memperkokoh semangat ukhuwah (persaudaraan). Baikh ukhuwah basyariyah (antar sesama manusia), ukhuwah Islamiyah (antar sesama muslim), maupun ukhuwah wathoniyah (antar sesama warga negara). Allah berfirman dalam surah Al Imron : 103 yang maknanya : Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. 

Beda pendapat suatu hal biasa, begitu juga menurut konsep Islam, perbedaan pendapat sudah menjadi hal yang sangat biasa terjadi. Yang terpenting perbedaan pendapat itu, tidak dalam hal-hal prinsip/pokok, tetapi dalam hal furuu’iyah (cabang). Jika terjadi perbedaan pendapat dalam hal furu’iyah, maka kita berupaya menyatukan, tetapi jika tidak bisa, maka kita harus siap dengan berbedaan itu, dengan tidak mengurangi rasa persaudaraan. Islam melarang untuk menghina satu kaum dengan kaum yang lainnya, karena tentu akan sakit hati, dan pada akhirnya akan terjadi pertengkaran.Allah. (Al Hujurat : 11). Kedua, membangun suasana marhamah (saling menyayangi). Saling menyayangi dan saling menghormati, antara sesama manusia. Rasulullah SAW bersabda : laisa minna man lam yarham shoghiirona, walam yuaqir kabiirona. (Tidak tergolong umatku orang yang tidak menyayangi yang lebih muda, dan tidak menghormati kepada yang lebih tua). HR At Tirmidzi. 

Hadis di atas memang redaksinya sangat simple, tetapi kandungan maknanya sangat dalam. Dalam kehidupan keluarga, jika kita bisa mengaplikasikan hadis ini, maka orang tua menyayangi putra putrinya, anak-anak menghormati kedua orang tuannya, sehingga dalam keluarga terbangun suasana saling menyayangi, hormat menghormati, maka akan terciptalah keluarga yang harmonis. Maka keluarga seperti inilah potret keluarga sebagaimana digambarkan Allah sebagai keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Keluarga bahagia sejahtera, lahir dan bathin. Jika potret keluarga yang demikian itu kita kembangkan dalam skala yang lebih luas, yakni negara. Pemimpin menyayangi rakyatnya, rakyat menghormati pemimpinnya, antara rakyat juga saling menyayangi, maka akan terwujud dalam suatu negara itu suasana yang damai, sebagaimana yang digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai negara yang baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofuur. Negara yang baik yang mendapat ridha Allah SWT.


0 komentar:

Posting Komentar