Prof DR H M Ali Aziz, M.Ag
Suatu ketika, datanglah Malaikat Jibril a.s kepada Nabi SAW dan berkata, ”Salam untukmu, wahai Rasulullah. Ini adalah terakhir kalinya aku turun ke bumi. Wahyu telah berhenti dan dunia telah dilipat. Aku tidak punya keperluan di dunia selain menemui engkau.” Nabi SAW menjawab salam Jibril a.s, lalu bertanya, ”Siapa yang mengurusi umatku sesudah aku mati?” Maka Allah SWT mewahyukan kepada Jibril, ”Beritakan kepada kekasihku bahwa Aku tidak menelantarkan umatnya. Beritahukan pula, ia adalah orang yang paling awal keluar dari bumi pada hari kebangkitan, sekaligus pemimpin mereka yang dibangkitkan itu. Katakan padanya, siapapun tidak diijinkan memasuki surga sebelum dimasuki umatnya”. Nabi SAW berkata,”Sekarang hatiku menjadi senang”. Setelah itu, beliau menggosok gigi dengan siwak, mengucapkan La ilaha illallah, lalu berdoa, ”(Jadikan aku) bersama dengan orang-orang yang Engkau beri nikmat, para nabi, para shiddiqin, para syuhada’ dan orang-orang yang shaleh (QS. An Nisa’: 69). Wahai Allah ampunilah aku, rahmatilah aku dan pertemukan aku dengan ”Ar-Rafiqul A’laa, Ar-Rafiqul A’laa” Rasulullah SAW benar-benar pemimpin sejati. Sepanjang hidupnya, yang ia fikirkan hanya satu yaitu keadaan umatnya. Nabi SAW menyintai umatnya bagaikan cinta seorang ibu kepada anaknya atau kasih seorang kakak kepada adiknya. Sampai detik terakhir hayatnya, baliau tiada henti memikirkan orang-orang yang dipimpinnya. Beliau baru tenang dan ikhlas meninggalkan umatnya setelah ada jaminan atas keselamatan mereka.
Penggalan kisah pendek ini disampaikan untuk menyindir siapapun pemimpin di negeri ini yang menomor-duakan rakyat dan menomor-satukan diri, keluarga, kelompok dan partainya. Waktu yang semestinya untuk mengurus rakyat terpecah untuk mengurus partai. Lebih-lebih untuk partai yang sedang bermasalah. Energi pemimpin bahkan telah habis untuk menyelesiakan permasalahan partai, dan energi untuk rakyat tinggal sisanya belaka.
Tidak sedikit pemimpin yang menguras energi untuk mengumpulkan dana dan dukungan demi pemenangannya untuk jabatan tertentu, bukan sibuk untuk menyusun program. Setelah berhasil menjadi penguasa, ia membayar hutang budi dengan membagi-bagi kue kekuasaan kepada tim sukses, lalu kerja keras mengembalikan modal yang digunakan untuk pemenangannya, dan menjelang berakhirnya masa jabatan, energi terkuras lagi untuk persiapan pemilihan berikutnya. Masih adakah sisa energi dan waktu untuk memikirkan rakyat?
Kisah berikutnya, adalah kisah Umar bin Khattab r.a. Sebagai kepala Negara, Umar r.a pernah bertindak cepat dan tegas: memberhentikan kepala daerah Khams Syria yang terbukti melakukan penyelewengan. Setelah memohon petunjuk Allah, maka dipilihlah Said bin Amir untuk memimpin daerah yang terkenal kemajuan ekonominya itu. Kota yang dijuluki Kufah kedua ini juga terkenal dengan temperamen penduduknya yang keras.
Mendapat kepercayaan sebagai kepala daerah, Said bin Amir tidak bersujud syukur seperti banyak dilakukan orang Indonesia sekarang. Ia justru menolak dengan halus, ”Tuan Kepala Negara yang mulia, saya berterima kasih atas kepercayaan tuan. Tapi, mohon saya tidak diberi posisi penuh fitnah ini!”. Umar menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan melepaskan saudara. Tegakah saudara, memberikan amanat kepemimpinan di pundakku, lalu engkau tinggalkan aku sebatangkara?”. Karena terus didesak, akhirnya Said menerima jabatan itu.
Belum lama menjabat, Said mulai mendapat ujian, bukan dari luar, tapi dari dalam keluarganya sendiri. Istrinya menuntut rumah, perabot dan fasilitas yang serba mewah. Said menolak keinginan istri itu dengan tegas. ”Wahai isteriku, mohon maaf, saya sudah berjanji. Apapun yang saya peroleh selama saya menjabat, saya sedekahkan kepada fakir miskin.” Sang isteri terkujut dan menangis penuh kekecewaan.
Ketika bersedih melihat sikap istri, Said mengarahkan pandangannya ke langit. Kemudian dia berkata, ”Wahai istriku, saya melihat di langit sana beberapa temanku yang telah wafat sebagai syuhada sedang bercengkerama dengan para bidadari yang amat cantik. Saya lebih suka memilih para bidadari itu daripada engkau.” Dengan berjalannya waktu, Said bersyukur, bahwa sang istri pelan-pelan bisa menyesuaikan pola hidup yang diinginkan.
Setelah mendapat laporan yang miring dari penduduk Kota Khams tentang kepimpinan Said bin Amir, Umar melakukan kunjungan mendadak ke Khams untuk mendengar secara langsung keluhan penduduk. Inilah keluhan-keluhan mereka yang dicatat oleh Umar. ”Kami menolak kepemimpinan Said karena empat alasan. Pertama, ia sering terlambat datang ke kantor. Kedua, setiap bulan selalu ada satu atau dua hari ia tidak masuk kantor. Ketiga, seringkali menolak kedatangan kami di malam hari. Keempat, dan ini paling prinsip, dia sering pingsan ketika sedang melaksanakan tugas.
Umar hanya diam. Lalu, dalam forum terbuka itu, Umar mempersilakan Said untuk klarifikasi. Inilah rekaman penjelasannya. “Saudara-saudara, saya sebenarnya tidak ingin membuka hal ini di hadapan saudara-saudara. Biarlah, apa yang saya alami cukup saya dan Allah yang mengetahuinya. Tapi, apa boleh buat. Karena saudara-saudara memintanya, maka secara terpaksa saya akan menjelaskan satu persatu keluhan saudara-saudara.”
”Pertama, benar saya sering terlambat sedikit ke kantor. Ketahuilah, saya tidak memiliki pembantu, sehingga mengaduk roti sendiri. Setelah shalat dluha, saya segera berangkat ke kantor. Kedua, benar saya absen ke kantor dua kali sebulan. Saya hanya memiliki baju yang menempel di badan. Saya perlu hari-hari tertentu setiap bulan untuk mencuci, mengeringkan dan kemudian saya pakai kembali. Ketiga, juga benar bahwa saya hanya menemui saudara-saudara di siang hari. Ketahuilah, siang hari saya maksimalkan mengurus rakyat dan malam hari saya khususkan untuk bersujud kepada Allah. Keempat, tidak salah, bahwa saya sering pingsan sewaktu melaksanakan tugas. Perlu saudara-saudara ketahui, saya memiliki pengalaman pahit, yang tidak akan pernah bisa terhapus dari memori saya.
Sebelum masuk Islam, saya melihat secara langsung seorang sahabat Nabi SAW, Hubaib Al Anshari disiksa secara keji oleh orang kafir, dan saya hanya diam saja. Sambil bersiap melakukan penyiksaan, orang-orang kafir berkata kasar kepada Hubaib, ”Bagaimana, jika kamu saya lepas dan diganti nabimu, Muhammad?” Hubaib menjawab, ”Aku tidak akan rela nabiku disiksa walaupun hanya dengan tusukan duri sekalipun”. Dengan sadis, mereka mencincang-cincang tubuh Hubaib dan saya hanya berpangku tangan. Saya takut kelak ditanya Allah mengapa saya diam dan tidak melakukan pembelaan sedikitpun. Setiap kali saya mengingat kejadian itu, saya lemas dan langsung pingsan.”
Umar bin Khattab tidak bisa menahan haru. Ia memeluk erat dan mencium kening Said bin Amir. Umar berkata, ”Saya bangga dan bersyukur, saya tidak salah memilihnya sebagai seorang pemimpin.” Umar bin Khattab memberi pelajaran: angkatlah pemimpin untuk semua jabatan secara profesional, bukan berdasar hubungan keluarga, setoran uang, politik dagang sapi, atau pertimbangan-pertimbangan non-profesional lainnya. Ke depankan pertimbangan kecerdasan, kecekatan, ketulusan dan kejujuran. Untuk apa memilih orang cerdas, kalau ternyata terhadap uang negara dia tukang kuras. Apa untungnya memilih orang dengan massa besar jika hanya bermulut besar. Tidak perlu harus bergelar doktor kalau ternyata ia adalah koruptor. Jangan menunjuk orang yang tidak berakhlakul karimah, sekalipun setiap bulan umrah ke Makkah dan Madinah.
Kisah Said bin Amir ini disampaikan kembali untuk menyindir para pemimpin yang tidak malu bernikmat ria di atas kendaraan bermilyar rupiah di depan rakyatnya yang kekurangan gizi dan tinggal di tengah onggokan sampah. Lebih mengerikan lagi adanya pemimpin yang tidak berprestasi, kecuali membuat video porno pribadi.
Kita berharap semua pemimpin kita – termasuk kita juga - menjadi pemimpin Rabbani: berilmu, bertakwa dan benar-benar fokus mengurus kesejahteraan dan keselamatan orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya, pemimpin yang hidup sederhana, bersih dari sumber penghasilan yang tidak halal, serta pemimpin yang menghabiskan siang hari untuk pengabdian kepada umat, dan malam hari untuk ibadat dan bertaubat.
Penggalan kisah pendek ini disampaikan untuk menyindir siapapun pemimpin di negeri ini yang menomor-duakan rakyat dan menomor-satukan diri, keluarga, kelompok dan partainya. Waktu yang semestinya untuk mengurus rakyat terpecah untuk mengurus partai. Lebih-lebih untuk partai yang sedang bermasalah. Energi pemimpin bahkan telah habis untuk menyelesiakan permasalahan partai, dan energi untuk rakyat tinggal sisanya belaka.
Tidak sedikit pemimpin yang menguras energi untuk mengumpulkan dana dan dukungan demi pemenangannya untuk jabatan tertentu, bukan sibuk untuk menyusun program. Setelah berhasil menjadi penguasa, ia membayar hutang budi dengan membagi-bagi kue kekuasaan kepada tim sukses, lalu kerja keras mengembalikan modal yang digunakan untuk pemenangannya, dan menjelang berakhirnya masa jabatan, energi terkuras lagi untuk persiapan pemilihan berikutnya. Masih adakah sisa energi dan waktu untuk memikirkan rakyat?
Kisah berikutnya, adalah kisah Umar bin Khattab r.a. Sebagai kepala Negara, Umar r.a pernah bertindak cepat dan tegas: memberhentikan kepala daerah Khams Syria yang terbukti melakukan penyelewengan. Setelah memohon petunjuk Allah, maka dipilihlah Said bin Amir untuk memimpin daerah yang terkenal kemajuan ekonominya itu. Kota yang dijuluki Kufah kedua ini juga terkenal dengan temperamen penduduknya yang keras.
Mendapat kepercayaan sebagai kepala daerah, Said bin Amir tidak bersujud syukur seperti banyak dilakukan orang Indonesia sekarang. Ia justru menolak dengan halus, ”Tuan Kepala Negara yang mulia, saya berterima kasih atas kepercayaan tuan. Tapi, mohon saya tidak diberi posisi penuh fitnah ini!”. Umar menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan melepaskan saudara. Tegakah saudara, memberikan amanat kepemimpinan di pundakku, lalu engkau tinggalkan aku sebatangkara?”. Karena terus didesak, akhirnya Said menerima jabatan itu.
Belum lama menjabat, Said mulai mendapat ujian, bukan dari luar, tapi dari dalam keluarganya sendiri. Istrinya menuntut rumah, perabot dan fasilitas yang serba mewah. Said menolak keinginan istri itu dengan tegas. ”Wahai isteriku, mohon maaf, saya sudah berjanji. Apapun yang saya peroleh selama saya menjabat, saya sedekahkan kepada fakir miskin.” Sang isteri terkujut dan menangis penuh kekecewaan.
Ketika bersedih melihat sikap istri, Said mengarahkan pandangannya ke langit. Kemudian dia berkata, ”Wahai istriku, saya melihat di langit sana beberapa temanku yang telah wafat sebagai syuhada sedang bercengkerama dengan para bidadari yang amat cantik. Saya lebih suka memilih para bidadari itu daripada engkau.” Dengan berjalannya waktu, Said bersyukur, bahwa sang istri pelan-pelan bisa menyesuaikan pola hidup yang diinginkan.
Setelah mendapat laporan yang miring dari penduduk Kota Khams tentang kepimpinan Said bin Amir, Umar melakukan kunjungan mendadak ke Khams untuk mendengar secara langsung keluhan penduduk. Inilah keluhan-keluhan mereka yang dicatat oleh Umar. ”Kami menolak kepemimpinan Said karena empat alasan. Pertama, ia sering terlambat datang ke kantor. Kedua, setiap bulan selalu ada satu atau dua hari ia tidak masuk kantor. Ketiga, seringkali menolak kedatangan kami di malam hari. Keempat, dan ini paling prinsip, dia sering pingsan ketika sedang melaksanakan tugas.
Umar hanya diam. Lalu, dalam forum terbuka itu, Umar mempersilakan Said untuk klarifikasi. Inilah rekaman penjelasannya. “Saudara-saudara, saya sebenarnya tidak ingin membuka hal ini di hadapan saudara-saudara. Biarlah, apa yang saya alami cukup saya dan Allah yang mengetahuinya. Tapi, apa boleh buat. Karena saudara-saudara memintanya, maka secara terpaksa saya akan menjelaskan satu persatu keluhan saudara-saudara.”
”Pertama, benar saya sering terlambat sedikit ke kantor. Ketahuilah, saya tidak memiliki pembantu, sehingga mengaduk roti sendiri. Setelah shalat dluha, saya segera berangkat ke kantor. Kedua, benar saya absen ke kantor dua kali sebulan. Saya hanya memiliki baju yang menempel di badan. Saya perlu hari-hari tertentu setiap bulan untuk mencuci, mengeringkan dan kemudian saya pakai kembali. Ketiga, juga benar bahwa saya hanya menemui saudara-saudara di siang hari. Ketahuilah, siang hari saya maksimalkan mengurus rakyat dan malam hari saya khususkan untuk bersujud kepada Allah. Keempat, tidak salah, bahwa saya sering pingsan sewaktu melaksanakan tugas. Perlu saudara-saudara ketahui, saya memiliki pengalaman pahit, yang tidak akan pernah bisa terhapus dari memori saya.
Sebelum masuk Islam, saya melihat secara langsung seorang sahabat Nabi SAW, Hubaib Al Anshari disiksa secara keji oleh orang kafir, dan saya hanya diam saja. Sambil bersiap melakukan penyiksaan, orang-orang kafir berkata kasar kepada Hubaib, ”Bagaimana, jika kamu saya lepas dan diganti nabimu, Muhammad?” Hubaib menjawab, ”Aku tidak akan rela nabiku disiksa walaupun hanya dengan tusukan duri sekalipun”. Dengan sadis, mereka mencincang-cincang tubuh Hubaib dan saya hanya berpangku tangan. Saya takut kelak ditanya Allah mengapa saya diam dan tidak melakukan pembelaan sedikitpun. Setiap kali saya mengingat kejadian itu, saya lemas dan langsung pingsan.”
Umar bin Khattab tidak bisa menahan haru. Ia memeluk erat dan mencium kening Said bin Amir. Umar berkata, ”Saya bangga dan bersyukur, saya tidak salah memilihnya sebagai seorang pemimpin.” Umar bin Khattab memberi pelajaran: angkatlah pemimpin untuk semua jabatan secara profesional, bukan berdasar hubungan keluarga, setoran uang, politik dagang sapi, atau pertimbangan-pertimbangan non-profesional lainnya. Ke depankan pertimbangan kecerdasan, kecekatan, ketulusan dan kejujuran. Untuk apa memilih orang cerdas, kalau ternyata terhadap uang negara dia tukang kuras. Apa untungnya memilih orang dengan massa besar jika hanya bermulut besar. Tidak perlu harus bergelar doktor kalau ternyata ia adalah koruptor. Jangan menunjuk orang yang tidak berakhlakul karimah, sekalipun setiap bulan umrah ke Makkah dan Madinah.
Kisah Said bin Amir ini disampaikan kembali untuk menyindir para pemimpin yang tidak malu bernikmat ria di atas kendaraan bermilyar rupiah di depan rakyatnya yang kekurangan gizi dan tinggal di tengah onggokan sampah. Lebih mengerikan lagi adanya pemimpin yang tidak berprestasi, kecuali membuat video porno pribadi.
Kita berharap semua pemimpin kita – termasuk kita juga - menjadi pemimpin Rabbani: berilmu, bertakwa dan benar-benar fokus mengurus kesejahteraan dan keselamatan orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya, pemimpin yang hidup sederhana, bersih dari sumber penghasilan yang tidak halal, serta pemimpin yang menghabiskan siang hari untuk pengabdian kepada umat, dan malam hari untuk ibadat dan bertaubat.
0 komentar:
Posting Komentar