KH Miftakhul Akhyar
Iman bukanlah suatu lamunan. Bukan pula hanya hiasan dhohir. Tetapi iman adalah kemantapan dan keyakinan yang ada dalam hati, lalu dibenarkan dengan amal-amal yang nyata. Berbuat baik dengan masyarakat, beretika dengan sesama manusia, dengan melakukan hal-hal yang positif di tengah-tengah masyarakat, gotong royong, saling membantu dlsb. Itu semua merupakan tanda-tanda iman dalam hati, yang harus menjadi dasar dalam kehidupan kita. Jika iman dipisahkan dengan amal, maka terjadi kesesatan, penyelewengan aqidah. Sama halnya dengan aliran-aliran kepercayaan, yang peribadatan mereka hanya cukup dengan keyakinan tanpa ada unjuk secara nyata dalam kehidupan ini. padahal iman harus didemontrasikan dengan amal, begitu pula amal harus didasarkan rasa iman.
Dalam era yang serba modern ini sering kita menyaksikan umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya, cenderung mementingkan kepentingan diri sendiri. Ego dan keakuan manusia telah mengalahkan kepentingan bersama. Mereka tidak lagi mempedulikan kepentingan orang lain. Hal ini mungkin saja bisa terjadi karena produk teknologi sudah merambah dari hilir ke hulu, sehingga kebutuhan akan dirinya telah dininabobokkan oleh alat tersebut, seakan tidak lagi membutuhkan orang lain.
Semua itu bisa terjadi lantaran minimnya pengetahuan mereka terhadap esensi makna agama yang mereka yakini sebagai pedoman. Mereka menomorduakan nilai sosial daripada nilai-nilai ubudiyah secara vertikal. Mereka lebih menyukai simbol-simbol daripada esensi nilai-nilai agama. Mereka tampak religius dan agamis, sementara dalam keseharian tidak tecermin ajaran dan nilai-nilai agama.
Sebagai orang yang beragama, sifat-sifat ketuhanan, seyogyanya menjadi cermin jiwa, kaca hati, dan perilaku kehidupan. Untuk mencapai semua itu diperlukan pemahaman agama secara benar dan melaksanakannya dengan konsisten (istiqamah). Hanya dengan itu, kita, mudah-mudahan, tergolong sebagai hamba yang saleh, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Agama bukan untuk dirinya sendiri, tetapi harus berefek kepada orang lain.
Ada sebuah hadis yang bunyinya sebagai berikut :
Dari Qosim bin Auf Asy Syaibaani mengatakan, saya mendengar ibnu Umar berkata : Beberapa waktu kami memeluk Islam, kami temukan saudara-saudara kami yang memeluk Islam, mereka telah dianugerahkan keimanan, sebelum pemahaman terhadap Al-Qur’an, mereka dianugerahkan kesadaran, keimanan yang prima sebelum mereka mengerti Al Qur’an. Akhirnya dengan iman itu, mereka mempelajari Al-Quran, mana yang halal, mana yang haram, mana yang perintah, mana yang larangan, dan di mana dia harus berhenti untuk merenunginya, dalam rangka menebalkan iman dan keyakinannya. Tetapi kami juga menemukan ada sekelompok manusia, mereka telah diberi Al-Qur’an, ilmu, sebelum mereka diberikan iman, sehingga ilmu pengetahuan yang tinggi, akhirnya dia membaca Al-Qur’an sejak dari Al Fatihah hingga An Naas khatam, tetapi mereka tidak sedikitpun tahu mana yang halal mana yang haram, mana perintah, mana larangan, mana yang harus berhenti untuk direnungkan, semua menjadi campur aduk tidak jelas, maka kehidupan masa depan mereka akan rontok, dengan goyangan sekecil apapun. Menghadapi prpblema kehidupan, akan tercerabut apa yang ia miliki, kalau semua itu tidak didasari oleh iman yang kokoh.
Betapa banyak ayat Al-Qur’an yang selalu menggandengkan iman dengan amal sholeh. Misalnya surah Al Ashr : yang maknanya : Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
Surah Saba’ : 37 maknanya : Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal (saleh, mereka Itulah yang memperoleh Balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang Tinggi (dalam syurga).
Bahkan di dalam Al-Qur’an, banyak juga ayat yang menerangkan tentang iman yang selalu digandengkan dengan amal, termasuk iman juga digandengkan dengan taqwa. Karena taqwa adalah imtitsaalul awaamir, waj tinabun nawaahi (melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi laranganNya). Tentu dalam rangka melaksanakan perintah itu, ada tahapan-tahapan sesuai dengan kemampuan. Maka Al Qur’an menyatakan Ittaqullah mas tatho’tum (bertawalah kepada Allah semampu kalian). Dalam arti sesuai kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu.
Rasulullah SAW bersabda : Sahabat Ibnu Mas’ud r.a. meriwayatkan atu hadits yang dihukumi hadits marfu’ menyatakan bahwa : ada pertanyaan di tengah masyarakat, bagaimana nasib kalian manakala fitnah telah meliputi kalian, berada di mana-mana bagaikan pakaian yang kalian kenakan. Sahabat lain bertanya, kapan itu terjadi? Tanda-tandanya, manakala orang-orang tua tiba-tiba menjadi pikun (fikirannya tidak normal). Anak-anak kecil fikirannya tidak senonoh. Fitnah dianggap sunnah, orang yang meninggalkan fitnah dituding meninggalkan sunnah. Itu terjadi manakala para ulama’ sudah meninggalkan kita, yang muncul adalah orang yang pandai berbicara. Orang yang dipercaya sedikit. Amalan akhirat dibelokkan menjadi urusan dunia, dan ilmu agama dipelajari bukan untuk kepentingan akhirat, tetapi hanyalah untuk meraih kedudukan dan fasilitas.
Dalam era yang serba modern ini sering kita menyaksikan umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya, cenderung mementingkan kepentingan diri sendiri. Ego dan keakuan manusia telah mengalahkan kepentingan bersama. Mereka tidak lagi mempedulikan kepentingan orang lain. Hal ini mungkin saja bisa terjadi karena produk teknologi sudah merambah dari hilir ke hulu, sehingga kebutuhan akan dirinya telah dininabobokkan oleh alat tersebut, seakan tidak lagi membutuhkan orang lain.
Sebagai orang yang beragama, sifat-sifat ketuhanan, seyogyanya menjadi cermin jiwa, kaca hati, dan perilaku kehidupan. Untuk mencapai semua itu diperlukan pemahaman agama secara benar dan melaksanakannya dengan konsisten (istiqamah). Hanya dengan itu, kita, mudah-mudahan, tergolong sebagai hamba yang saleh, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Agama bukan untuk dirinya sendiri, tetapi harus berefek kepada orang lain.
Ada sebuah hadis yang bunyinya sebagai berikut :
Dari Qosim bin Auf Asy Syaibaani mengatakan, saya mendengar ibnu Umar berkata : Beberapa waktu kami memeluk Islam, kami temukan saudara-saudara kami yang memeluk Islam, mereka telah dianugerahkan keimanan, sebelum pemahaman terhadap Al-Qur’an, mereka dianugerahkan kesadaran, keimanan yang prima sebelum mereka mengerti Al Qur’an. Akhirnya dengan iman itu, mereka mempelajari Al-Quran, mana yang halal, mana yang haram, mana yang perintah, mana yang larangan, dan di mana dia harus berhenti untuk merenunginya, dalam rangka menebalkan iman dan keyakinannya. Tetapi kami juga menemukan ada sekelompok manusia, mereka telah diberi Al-Qur’an, ilmu, sebelum mereka diberikan iman, sehingga ilmu pengetahuan yang tinggi, akhirnya dia membaca Al-Qur’an sejak dari Al Fatihah hingga An Naas khatam, tetapi mereka tidak sedikitpun tahu mana yang halal mana yang haram, mana perintah, mana larangan, mana yang harus berhenti untuk direnungkan, semua menjadi campur aduk tidak jelas, maka kehidupan masa depan mereka akan rontok, dengan goyangan sekecil apapun. Menghadapi prpblema kehidupan, akan tercerabut apa yang ia miliki, kalau semua itu tidak didasari oleh iman yang kokoh.
Betapa banyak ayat Al-Qur’an yang selalu menggandengkan iman dengan amal sholeh. Misalnya surah Al Ashr : yang maknanya : Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
Surah Saba’ : 37 maknanya : Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal (saleh, mereka Itulah yang memperoleh Balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang Tinggi (dalam syurga).
Bahkan di dalam Al-Qur’an, banyak juga ayat yang menerangkan tentang iman yang selalu digandengkan dengan amal, termasuk iman juga digandengkan dengan taqwa. Karena taqwa adalah imtitsaalul awaamir, waj tinabun nawaahi (melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi laranganNya). Tentu dalam rangka melaksanakan perintah itu, ada tahapan-tahapan sesuai dengan kemampuan. Maka Al Qur’an menyatakan Ittaqullah mas tatho’tum (bertawalah kepada Allah semampu kalian). Dalam arti sesuai kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu.
Rasulullah SAW bersabda : Sahabat Ibnu Mas’ud r.a. meriwayatkan atu hadits yang dihukumi hadits marfu’ menyatakan bahwa : ada pertanyaan di tengah masyarakat, bagaimana nasib kalian manakala fitnah telah meliputi kalian, berada di mana-mana bagaikan pakaian yang kalian kenakan. Sahabat lain bertanya, kapan itu terjadi? Tanda-tandanya, manakala orang-orang tua tiba-tiba menjadi pikun (fikirannya tidak normal). Anak-anak kecil fikirannya tidak senonoh. Fitnah dianggap sunnah, orang yang meninggalkan fitnah dituding meninggalkan sunnah. Itu terjadi manakala para ulama’ sudah meninggalkan kita, yang muncul adalah orang yang pandai berbicara. Orang yang dipercaya sedikit. Amalan akhirat dibelokkan menjadi urusan dunia, dan ilmu agama dipelajari bukan untuk kepentingan akhirat, tetapi hanyalah untuk meraih kedudukan dan fasilitas.
0 komentar:
Posting Komentar