Home » » Berdakwah Dengan Hikmah

Berdakwah Dengan Hikmah

Prof. Dr. H. Syafiq . A. Mughni , MA

Islam pada awal periodenya telah berhasil menggentarkan kehidupan-kehidupan yang tanpa nilai serta tanpa norma yang digambarkan sebagai kehidupan jahiliyah di panggung kehidupan. Hal ini sesuai dengan risalah yang diemban oleh Rasulllah SAW, yakni menyempurnakan akhlak manusia, sehingga tercipta sebuah kehidupan yang teratur, hasil ini juga sesuai dengan fitroh manusia yang selalu mendambakan sebuah kedamaian dan ketentraman dalam menjalankan aktivitas kehidupannya. 

Islam adalah agama yang menuntun kita, bukan hanya kepada kebaikan individual, namun juga kebaikan kolektif. Karena itulah, maka wajib bagi kita untuk terus menerus memperbaiki diri sendiri, tetapi juga memperbaiki kehidupan bersama, kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena itulah maka menjadi kewajiban kita, untuk terus berdakwah, mengajak untuk masing-masing kita meningkatkan keimanan dan ketaqwaan, meningkatkan kesejahteraan, perdamaian, dan kemaslahatan kita semua. Jika itu yang kita lakukan, maka kita akan dinilai oleh Allah, sebagai hamba yang berhak mendapatkan surga di akhirat nanti. Allah berfirman dalam surah An Nahl : 125 yang maknanya : Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. 

Jika kita memiliki kekuasaan, maka hikmah itu adalah kebijakan untuk menentukan masyarakat menjadi lebih baik kehidupannya. Dengan peraturan-peraturan yang dibuat oleh sang penguasa, menggiring masyarakat agar menjadi orang yang muhsin (orang-orang yang berbuat baik). Alhikmah juga bisa diartikan sebagai ilmu pengetahuan. Maka, di antara kita yang mempunyai ilmu pengetahuan, marilah itu kita gunakan untuk berdakwah. Hikmah juga bisa diartikan kata-kata arif dalam berdakwah. Di dalam Al-Qur’an Allah SWT menyatakan suatu pedoman yang sangat penting supaya kita menjadi orang yang sukses, membawa masyarakat ini menuju kebajikan. Menjadi da’i yang selalu beramar ma’ruf nahi munkar dengan sukses. (QS Ali Imron :159) yang maknanya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. 

Pertama, yang harus dibangun dalam berdakwah adalah lemah lembut. Artinya dalam berdakwah jika masih menemukan jalan yang terbaik yang lebih ashlah (yang membawa kedamaian), yang menyebabkan kesadaran masyarakat, maka itu harus kita lakukan. Dan salah satu hal yang sangat penting bagaimana kita menunjukkan keagungan dan kebesaran agama Allah ini, dengan sikap kita yang lemah-lembut. Tidak mungkin kita menunjukkan keagungan ajaran Allah, dengan cara yang bertentangan dengan syariah, bertentangan dengan prinsip-prinsip kedamaian ajaran Islam, karena kalau itu yang kita lakukan, maka justeru orang akan melihat bahwa ajaran Islam tidak sesuai dengan kehidupan sekarang. Maka, kita sebagai muslim, apapun kedudukannya, apapun jabatannya, mari kita gunakan untuk menunjukkan, keagungan ajaran Allah. Kita jadikan agama Allah ini sebagai kebutuhan zaman, sebagai prinsip-prinsip moral yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan peradaban masyarakat sekarang ini. Maka, kalau itu bisa kita lakukan, salah satu modal telah kita bangun dalam melakukan dakwah Islamiyah. 

Kedua, mau memberikan maaf kepada orang-orang yang berbuat salah. Memberikan maaf bukan berarti melupakan kesalahan orang lain. Bukan melupakan kesalahan yang mungkin kita lakukan. Selama masih ada peluang untuk memberikan maaf, maka itulah jalan yang sangat baik. Ada sebuah contoh yang bisa kita jadikan teladan. Pada tahun sekitar 60-an ada seorang pejuang, yang dengan segala daya dan upaya akan melakukan perubahan dalam masyarakat, dari yang penuh kedhaliman, menuju masyarakat yang penuh dengan keadilan. Akan merubah sistem pemerintahan yang operesif menuju sebuah sistem pemerintahan yang menunjukkan kesejahteraan bersama. Maka, pejuang ini di penjara oleh pemerintah yang berkuasa pada saat itu. Dia di dalam tahanan selama 25 tahun, dan selama itu pula dia disiksa, dan dihinakan. Hingga pada suatu saat, dia dibebaskan dan telah terjadi demokratisasi. Dan dia akhirnya terpilih menjadi presiden. Pada suatu ketika ada seorang wartawan yang bertanya : “Wahai Bapak Presiden, engkau adalah orang yang dulu dipenjara, dan di dalam penjara itu anda dihinakan. Nah, sekarang engkau memiliki kekuasaan, apa yang engkau lakukan?” Dia menjawab :”to forgive mybe, to forget imposible” (untuk memaafkan adalah suatu yang sangat mungkin, tetapi untuk melupakan, adalah sesuatu yang mustahil). Kalau kita lupa terhadap masa lalu, lupa terhadap kesalahan kita, maka kita akan kembali menjadi umat yang bodoh yang tidak bisa mengambil pelajaran dari masa lalu. Oleh karena itulah, maka prinsif memaafkan tidak berarti kita tidak boleh belajar dari kesalahan kita masa lampau. Dan kalau ini kita lakukan, maka insyaallah, sesuai dengan kebijakan Rasulullah SAW, ketika menaklukkan kota Makkah. Sebagai seorang Nabi yang berjuang untuk menegakkan agama Islam. Ketika di Makkah, beliau di musuhi, dan dihinakan oleh kaum musyrikin, tetapi setelah dia hijrah dan berhasil menaklukkan Makkah, maka Rasulullah SAW mengatakan : “Engkau semua (penduduk Makkah) bebas, tidak ada dendam, tidak ada sakit hati, maka mari kita bangun bersama, kehidupan masyarakat mendatang dengan lebih baik, sesuai prinsip-prinsip ajaran Allah SWT. 

Ketiga, hendaklah kita memintakan maaf kepada orang lain. Bagi saudara kita yang mungkin telah berbuat salah. Ketika ada hambatan psikologis, bagi seseorang untuk minta maaf, mungkin karena gengsi, mungkin karena pertimbangan-pertimbangan lain, maka kita harus menjadi mediator, untuk menjembatani agar, orang tersebut mau memberikan maaf, kepada saudaranya yang telah melakukan kesalahan. Wastaghfirlahum, bisa juga diartikan bahwa kita memintakan ampun kepada Allah SWT bagi saudara-saudara kita yang mungkin telah berbuat dosa dan kesalahan kepada Allah. Kalau hal ini kita lakukan, InsyaAllah akan tergambar kebesaran jiwa kita, sebagai orang yang mampu menegakkan kedamaian. Sebagai orang yang mampu menengahi konflik, di antara saudara-saudara kita, dan dengan itu pulalah, maka akan tergambar, jiwa besar dari kita, dan kebesaran ajaran agama yang kita anut. Dan insyaAllah orang lain akan melihat kebesaran dan keagungan agama kita. 

Keempat, hendaklah bermusyawarah dalam setiap perkara. Untuk kepentingan masyarakat, untuk kepentingan kehidupan bersama, maka kita harus melakukan musyawarah. Karena seringkali, kita tidak sadar, mungkin pada suatu saat yakin akan kebenaran pendapat kita. Mungkin pada suatu saat akan merasa paling benar, maka di situlah Allah memperingatkan bahwa hendaknya dia bermusyawarah. Orang sering mengatakan : “Kita sering menjadi tawanan dari kita sendiri”. Ketika kita menjadi pedagang terjadi krisis, kita menyalahkan orang lain, yang menyebabkan krisis itu. ketika kita menjadi seorang penguasa, dan kemudian terjadi kemelut di tengah-tengah masyarakat, kita sering menyalahkan masyarakat sebagai penyebab krisis itu sendiri. Ketika kita menjadi tokoh masyarakat, mungkin akan menyalahkan orang lain, akan menyalahkan bisnisman, penguasa, dan siapa saja. Itulah sebuah contoh, bahwa kita sering menjadi tawanan dari situasi kita. Karena itulah, kita perlu mendengarkan kata orang lain, mungkin dari posisi yang berbeda, mungkin dari sudut pandang yang lain, maka akan menemukan jalan yang terbaik, sebagai hasil dari musyawarah, tentang malaha-masalah yang tentu sering kita hadapi. 

Kelima, bertawakkal kepada Allah. Apabila kita memutuskan sebuah keputusan atas hasil musyawarah itu, maka kita harus bertawakkal kepada Allah SWT. Karena keputusan itu mengikat kepada semua orang dan karena itu tidak boleh ada upaya-upaya untuk mementahkan, atau menggagalkan atas hasil keputusan musyawarah itu. 

Mudah-mudahan dengan sikap yang dituntunkan oleh Allah SWT ini, dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, kita menjadi orang yang sukses dalam melakukan perbaikan, dalam ber amar ma’ruf nahi mungkar. Amien. 


0 komentar:

Posting Komentar