Muhammad Sholeh Drehem, LC, M.Ag
Aqidah adalah istilah yang baru muncul, bukan istilah salaf. Kalau dulu pemahaman para salafussholih, bahwa aqidah itu adalah iman dan tauhid itu sendiri. Berbicara masalah aqidah, adalah berbicara masalah iman dan tauhid. Iman adalah keyakinan bahwa Allah yang menciptakan kita, yang menghidupkan dan yang mematikan kita. Iman adalah keyakinan bahwa Allah satu-satunya Dzat, yang mengatur rizki kita. Inilah akidah yang harus kita tanamkan pada diri kita. Aqidah berasal dari akar kata ‘aqada, ya’qidu ‘aqdan atau aqidatan yakni sesuatu yang mengikat. Seperti dalam jual beli ada aqdul bai` (ikatan jual beli), mengikat sesuatu yang dulunya haram menjadi halal dinamakan aqdun nikaah (ikatan pernikahan).
Dalam aqidah yang diikat adalah hati dan sanubari kita yang diikat dengan iman dan tauhid, sehingga niat, motivasi, orientasi hidup kita, semuanya diserahkan kepada Allah. Itulah komitmen yang kita ikrarkan setiap kita shalat ; inna sholaati, wanusuki, wa mahyaa-ya wa mamaati lillaahi rabbi `aalamiin (sungguh shalatku, ibadahku, hidup dan matiku semua keuserahkan kepada Allah SWT. Inilah akidah yang harus ditanamkan kepada seorang pemimpin. Apakah sebagai presiden, menteri, gubernur, walikota, bupati, camat, lurah, sampai diri kita yang menjadi pemimpin dalam rumah tangga kita. Rasulullah bersabda : kullukum roo`in, wa kullukum masuulun `an ro`iyyatihi (masing-masing kalian adalah pemimpin, kalian akan diminta pertanggung jawaban oleh Allah).
Kalau kita lihat fenomena sekarang ini, tampaknya iman dinomorduakan. Kita sekarang sedang mengalami krisis iman, tauhid atau aqidah. Orang tidak lagi bergantung pada Allah SWT, orang saat ini sudah tidak bertawakkal kepada Allah. Tetapi dia bertawakkal kepada jabatannya, bertawakkal karena bisnisnya yang sukses, dia bertawakkal kepada ilmunya yang dibutuhkan oleh umat saat ini, dia bertawakkal kepada anaknya yang sukses dalam karir dan keilmuannya, merasa ke depan akan jaya kehidupannya, dia lupa bahwa yang mengatur seluruh kehidupan manudia di dunia ini, yang mengatur semesta alam ini, adalah Allah SWT.
Akhlak adalah refkeksi iman yang kita punya. Akhlak adalah cerminan aqidah dalam kehidupan ini. Untuk itu, ketika Allah SWT berbicara masalah akhlak, selalu dikaitkan dengan masalah iman. Sebagai pemimpin mari kita tanyakan kepada diri kita masing-masing, bagaimana akhlak kita pada saat ini,. Bagaimana akhlak kita di tengah-tengah anak cucu kita, akhlak kita ketika bersama anak buah di kantor dan lain sebagainya.
Banyak hadis yang selalu mengaitkan akhlak dengan iman. Laa yu’minu ahadukum hatta yuhibba li akhiihi maa yuhibbu linafsihi. (tidak sempurna iman seseorang sehingga dia mencintai orang lain seperti mencintai diri sendiri). Sehingga kalau ada gesekan, ada ketidakakraban antara satu dengan yang lain, ada gesekan dengan anak, isteri, kakak, adik dlsb, ini bukti bahwa iman kita bermaslah. Man kaana yu’minu billahi wal yaumil akhiiri fal yukrim dhoifahu (barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir maka muliakan tamu). Man kaana yu’minu billahi wal yaumil akhiiri fal yukrim jaarohu (barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir maka muliakan tetangga). Man kaana yu’minu billahi wal yaumil akhiiri fal fal yaqul khoiron au liyasmut (barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hendaknya berbicara yang baik, atau diam).
Jadi kalau kita ingin berakhlak yang baik, maka tauladani Rasulullah SAW. Begitu juga bagi para pemimpin yang ingin menjadi pemimpin yang baik, hendaknya mengikuti sifat-sifat Rasulullah SAW yang dirangkum menjadi 4 hal :
Pertama, Shidiq (kejujuran). Jujur ini mencakup 3 hal, Pertama, shidqun niyyah (jujur niat). Hatinya jujur, misalnya kita datang ke masjid ini, apakah ada kejujuran dalam hati kita,. Kalau sudah ada keujuran ini maka akan muncul ikhlas. Kedua, Shidqul kalaam (jujur dalam berbicara). Tidak mau berbicara kecuali yang benar, bahkan dalam bergurau sekalipun. Orang kalau sudah terbiasa jujur, maka pembicaraanya akan menyentuh kepada orang lain (hipnotis). Sebaliknya orang kalau sering berbicara dusta, tidak ada kejujuran dalam berbicara, tidak ikhlas, basa-basi, ada unsure kepura-puraan, maka pembicaraannya akan terasa hambar. Ketiga, shidqul mauqif (jujur dalam sikap). Dilihat orang atau tidak, sikap jujur tetap ditanamkan, karena dimanapun dia merasa dilihat oleh Allah SWT. Kalau ini diterapkan maka akan muncul haibah (kewibawaan).
Kedua, amanah (tanggungjawab). Merasa bahwa umat ini menjadi beban bagi yang bersangkutan. Rasulullah SAW setiap shalat jamaah selalu melihat dan mengamati jamaahnya. Kalau dilihatnya ada jamaah yang tersenyum, Rasulullah ikut tersenyum, kalau ada sahabat yang mrengut, Rasulullah bertanya kenapa merengut? Ada permasalahan apa? Saat itu jawabannya : “saya lapar ya Rasulullah”. Saat itu shalat nabi tidak dibuat panjang. Begitu pulang, Rasulullah menemui Aisyah isterinya : “Apakah kamu punya sesuatu hari ini? Aisyah menjawab : “saya tidak punyak apa-apa hari ini selain seteguk air ini”. Kemudian beliau menemui isterinya yang lain Hafshoh kemudianUmu Salamah semuanya menjawab tidak punya apa-apa, karena paceklik pada waktu itu. Baru setelah itu Rasulullah menemui dan menawarkan kepada sahabatnya dan mengatakan : “ Siapa di antara kalian yang bisa menjamu tamu kita hari ini?” Dari sini tergambar bahwa terdapat kepekaan pada diri Rasulullah SAW, merasa bertanggungjawab atas umatnya. Inilah amanah Rasulullah SAW. Amanah dalam memikil bangsa dan negerinya pada waktu itu, amanah terhadap aqidah dan akhlak para sahabatnya dll.
Ketiga, Fathonah (kecerdasan). Seorang pemimpin harus cerdas, baik secara intelektual, emosional dan spiritual. Sebagaimana Rasulullah SAW juga cerdas ketiganya.
Keempat, tabligh. Apa yang kita tahu tentang risalah Islam, tentang kabaikan ini, maka perlu kita sampaikan kepada yang lain, setiap kebaikan tidak boleh dinikmati sendiri. Ini merupakan amanah Allah SWT kepada kita yang harus kita sampaikan. Kita lihat fenomena umat pada saat ini berbagai kemungkaran sudah menganga lebar di tengah-tengah kita. Akhlak pemuda-pemudi kita sekarang yang begitu jauh dari yang diharapkan oleh Islam. Maka kebaikan-kebaikan Islam ini harus kita sampaikan kepada mereka (amar ma’ruf nahi munkar).
Kalau aqidah ini sudah tertanam dalam diri kita, kemudian memunculkan akhlak yang baik, yang mengikuti akhlaknya Rasulullah SAW saya yakin bangsa ini ke depan akan diberkahi oleh Allah SWT.
Dalam aqidah yang diikat adalah hati dan sanubari kita yang diikat dengan iman dan tauhid, sehingga niat, motivasi, orientasi hidup kita, semuanya diserahkan kepada Allah. Itulah komitmen yang kita ikrarkan setiap kita shalat ; inna sholaati, wanusuki, wa mahyaa-ya wa mamaati lillaahi rabbi `aalamiin (sungguh shalatku, ibadahku, hidup dan matiku semua keuserahkan kepada Allah SWT. Inilah akidah yang harus ditanamkan kepada seorang pemimpin. Apakah sebagai presiden, menteri, gubernur, walikota, bupati, camat, lurah, sampai diri kita yang menjadi pemimpin dalam rumah tangga kita. Rasulullah bersabda : kullukum roo`in, wa kullukum masuulun `an ro`iyyatihi (masing-masing kalian adalah pemimpin, kalian akan diminta pertanggung jawaban oleh Allah).
Kalau kita lihat fenomena sekarang ini, tampaknya iman dinomorduakan. Kita sekarang sedang mengalami krisis iman, tauhid atau aqidah. Orang tidak lagi bergantung pada Allah SWT, orang saat ini sudah tidak bertawakkal kepada Allah. Tetapi dia bertawakkal kepada jabatannya, bertawakkal karena bisnisnya yang sukses, dia bertawakkal kepada ilmunya yang dibutuhkan oleh umat saat ini, dia bertawakkal kepada anaknya yang sukses dalam karir dan keilmuannya, merasa ke depan akan jaya kehidupannya, dia lupa bahwa yang mengatur seluruh kehidupan manudia di dunia ini, yang mengatur semesta alam ini, adalah Allah SWT.
Akhlak adalah refkeksi iman yang kita punya. Akhlak adalah cerminan aqidah dalam kehidupan ini. Untuk itu, ketika Allah SWT berbicara masalah akhlak, selalu dikaitkan dengan masalah iman. Sebagai pemimpin mari kita tanyakan kepada diri kita masing-masing, bagaimana akhlak kita pada saat ini,. Bagaimana akhlak kita di tengah-tengah anak cucu kita, akhlak kita ketika bersama anak buah di kantor dan lain sebagainya.
Jadi kalau kita ingin berakhlak yang baik, maka tauladani Rasulullah SAW. Begitu juga bagi para pemimpin yang ingin menjadi pemimpin yang baik, hendaknya mengikuti sifat-sifat Rasulullah SAW yang dirangkum menjadi 4 hal :
Pertama, Shidiq (kejujuran). Jujur ini mencakup 3 hal, Pertama, shidqun niyyah (jujur niat). Hatinya jujur, misalnya kita datang ke masjid ini, apakah ada kejujuran dalam hati kita,. Kalau sudah ada keujuran ini maka akan muncul ikhlas. Kedua, Shidqul kalaam (jujur dalam berbicara). Tidak mau berbicara kecuali yang benar, bahkan dalam bergurau sekalipun. Orang kalau sudah terbiasa jujur, maka pembicaraanya akan menyentuh kepada orang lain (hipnotis). Sebaliknya orang kalau sering berbicara dusta, tidak ada kejujuran dalam berbicara, tidak ikhlas, basa-basi, ada unsure kepura-puraan, maka pembicaraannya akan terasa hambar. Ketiga, shidqul mauqif (jujur dalam sikap). Dilihat orang atau tidak, sikap jujur tetap ditanamkan, karena dimanapun dia merasa dilihat oleh Allah SWT. Kalau ini diterapkan maka akan muncul haibah (kewibawaan).
Kedua, amanah (tanggungjawab). Merasa bahwa umat ini menjadi beban bagi yang bersangkutan. Rasulullah SAW setiap shalat jamaah selalu melihat dan mengamati jamaahnya. Kalau dilihatnya ada jamaah yang tersenyum, Rasulullah ikut tersenyum, kalau ada sahabat yang mrengut, Rasulullah bertanya kenapa merengut? Ada permasalahan apa? Saat itu jawabannya : “saya lapar ya Rasulullah”. Saat itu shalat nabi tidak dibuat panjang. Begitu pulang, Rasulullah menemui Aisyah isterinya : “Apakah kamu punya sesuatu hari ini? Aisyah menjawab : “saya tidak punyak apa-apa hari ini selain seteguk air ini”. Kemudian beliau menemui isterinya yang lain Hafshoh kemudianUmu Salamah semuanya menjawab tidak punya apa-apa, karena paceklik pada waktu itu. Baru setelah itu Rasulullah menemui dan menawarkan kepada sahabatnya dan mengatakan : “ Siapa di antara kalian yang bisa menjamu tamu kita hari ini?” Dari sini tergambar bahwa terdapat kepekaan pada diri Rasulullah SAW, merasa bertanggungjawab atas umatnya. Inilah amanah Rasulullah SAW. Amanah dalam memikil bangsa dan negerinya pada waktu itu, amanah terhadap aqidah dan akhlak para sahabatnya dll.
Ketiga, Fathonah (kecerdasan). Seorang pemimpin harus cerdas, baik secara intelektual, emosional dan spiritual. Sebagaimana Rasulullah SAW juga cerdas ketiganya.
Keempat, tabligh. Apa yang kita tahu tentang risalah Islam, tentang kabaikan ini, maka perlu kita sampaikan kepada yang lain, setiap kebaikan tidak boleh dinikmati sendiri. Ini merupakan amanah Allah SWT kepada kita yang harus kita sampaikan. Kita lihat fenomena umat pada saat ini berbagai kemungkaran sudah menganga lebar di tengah-tengah kita. Akhlak pemuda-pemudi kita sekarang yang begitu jauh dari yang diharapkan oleh Islam. Maka kebaikan-kebaikan Islam ini harus kita sampaikan kepada mereka (amar ma’ruf nahi munkar).
Kalau aqidah ini sudah tertanam dalam diri kita, kemudian memunculkan akhlak yang baik, yang mengikuti akhlaknya Rasulullah SAW saya yakin bangsa ini ke depan akan diberkahi oleh Allah SWT.
0 komentar:
Posting Komentar