Dr Muhammad Thohir, Sp.Kj
Rasulullah SAW bersabda : Inna fil jasadi muthghoh waidza fasadat, fasadal jasadu kulluh, faidzaa waidza sholuha sholuha jasaduhu kulluH alaa wahiya al qalb ( Sungguh dalam diri jasmani ada segumpal darah yang jika dia jelek, maka akan jelek seluruh tubuhnya, dan jika dia baik, maka akan baik seluruh tubuhnya, dia itu adalah hati). Maka makna dari hadis ini bisa dimaknai dengan makna anatomis, karena dimulai dengan kata jasad. Dalam tubuh kita ada organ yang namanya liver, yang sering disebut dengan hati. Kalau liver itu sakit, maka akan sakit seluruh tubuh. Kalau liver itu sehat, maka sehat pula seruluh tubuh. Penyakit hati sebenarnya adalah jika hawa nafsu menguasai diri kita. Kalau kita tidak berupaya melatih diri untuk mengendalikan hawa nafsu, maka hawa nafsu itu akan dominan dan akan menguasai diri kita. Dan pada saat itulah penyakit-penyakit hati akan bermunculan. Sebagaimana firman Allah dalam surah Yusuf : 53 yang maknanya : Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. Sebagai manusia, kita dikaruniai Allah akal dan nafsu. Nafsu bukan barang jahat, karena nafsu adalah motor kehidupan kita. Namun, yang sering terjadi motor itu tidak diberi sistem kendali. Tidak ada rem, tidak ada stir, tidak ada lighting tidak ada tancapan gas. Maka, nafsu itu akan berjalan tanpa kendali dan akhirnya meyimpang dari jalan yang sebenarnya. Bahkan terjerumus dalam jurang kesengsaraan. ( QS An Nazi’aat : 40) yang maknanya : Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).
Sebelum di akhirat kelak, di duniapun ini kita akan bisa menikmati kebahagiaan, jika kita bisa mengendalikan hawa nafsu. Namun, pengendalian nafsu ini tidak begitu saja bisa diciptakan, namun melalui usaha demi usaha, dari waktu ke waktu. Dan inilah yang disebut Rasulullah SAW dengan jihaadun nafs (berusaha maksimal untuk mengendalikan hawa nafsu). Ketika Rasulullah SAW dan bala tentaranya pulang dari perang Badar, perang terbesar di antara perang-perang lainnya. Beliau bersabda : Kita dari perang kecil, menujuk ke perang yang lebih besar. Para sahabat heran dengan pernyataan Rasulullah SAW ini. karena mereka menganggap bahwa perang Badar adalah perang yang besar dan luar biasa, namun dikatakan masih kecil dan akan menghadapi yang lebih besar. Kemudian para sahabat bertanya : Perang apa itu ya Rasulullah? Beliau menjawab: “Perang melawan hawa nafsu”. Kenapa lebih besar? Karena musuhnya tidak tampak, waktunya tidak tertentu, kapan saja bisa terjadi, dan tidak ada gencatan senjata.
Kalau itu mampu mengendalikan nafsu itu, maka nafsu itu akan dirahmati oleh Allah. Illa mar rohima ribbiy (kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku). Misalnya nafsu sexual, melalui pernikahan dan perkawinan, maka akan menghasilkan anak keturunan yang bisa meneruskan species generasi manusia yang membahagiakan orang tuannya. Demikian pula nafsu untuk mencari sesuatu, mencari nafkah dan sebagainya, kalau terkendali dengan baik, maka itu akan menghasilkan rizky yang halal, yang tidak hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri, tetapi bisa dinikmati orang lain, dengan bershodaqah, zakat, infaq. Itulah nafsu yang bisa dikendalikan dan dirahmati oleh Allah SWT. Namun, sering kali kita lengah, sehingga hawa nafsu itu menang dalam peperangan melawan kita, sehingga dia mengusai diri kita, mendominasi kehidupan kita. Maka, fithroh (hati nurani) terhalangi oleh nafsu itu, maka muncullah penyakit-penyakit hati. Misalnya timbul sifat sombong, takabbur, merasa dirinya besar. Padahal dengan sifat kesombongan inilah iblis dilaknat oleh Allah. Akan timbul pula sifat dendam (tidak memafkan kesalahan orang lain). Padahal tanda ketaqwaan adalah memaafkan orang yang bersalah. (QS Ali Imron : 134)
Indikasi sosial dari ketaqwaan adalah saling memaafkan, saling berlapang dada. (QS An Nuur :22) yang maknanya : Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Maka sikap dendam, bahkan ada ungkapan “tiada maaf bagimu”, itu adalah sikap yang anti taqwa. Sikap orang bertaqwa adalah memaafkan, walaupun tidak diminta. Allah Afuwwun Ghofuur (Maha Pemaaf dan Maha Pengampun). Rasulullah SAW berpesan : Takhollaquu biakhlaaqillah (berakhlaklah kalian dengan sifat Allah).
Maka, marilah kita mengkhusyu’kan hati dalam dzikrulloh, untuk mengendalikan nafsu. Nafsu kita harus kita manfaatkan dengan sistem kendali iman dan taqwa, semoga akan membawa manfaat bagi kehidupan kita.
Sebelum di akhirat kelak, di duniapun ini kita akan bisa menikmati kebahagiaan, jika kita bisa mengendalikan hawa nafsu. Namun, pengendalian nafsu ini tidak begitu saja bisa diciptakan, namun melalui usaha demi usaha, dari waktu ke waktu. Dan inilah yang disebut Rasulullah SAW dengan jihaadun nafs (berusaha maksimal untuk mengendalikan hawa nafsu). Ketika Rasulullah SAW dan bala tentaranya pulang dari perang Badar, perang terbesar di antara perang-perang lainnya. Beliau bersabda : Kita dari perang kecil, menujuk ke perang yang lebih besar. Para sahabat heran dengan pernyataan Rasulullah SAW ini. karena mereka menganggap bahwa perang Badar adalah perang yang besar dan luar biasa, namun dikatakan masih kecil dan akan menghadapi yang lebih besar. Kemudian para sahabat bertanya : Perang apa itu ya Rasulullah? Beliau menjawab: “Perang melawan hawa nafsu”. Kenapa lebih besar? Karena musuhnya tidak tampak, waktunya tidak tertentu, kapan saja bisa terjadi, dan tidak ada gencatan senjata.
Kalau itu mampu mengendalikan nafsu itu, maka nafsu itu akan dirahmati oleh Allah. Illa mar rohima ribbiy (kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku). Misalnya nafsu sexual, melalui pernikahan dan perkawinan, maka akan menghasilkan anak keturunan yang bisa meneruskan species generasi manusia yang membahagiakan orang tuannya. Demikian pula nafsu untuk mencari sesuatu, mencari nafkah dan sebagainya, kalau terkendali dengan baik, maka itu akan menghasilkan rizky yang halal, yang tidak hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri, tetapi bisa dinikmati orang lain, dengan bershodaqah, zakat, infaq. Itulah nafsu yang bisa dikendalikan dan dirahmati oleh Allah SWT. Namun, sering kali kita lengah, sehingga hawa nafsu itu menang dalam peperangan melawan kita, sehingga dia mengusai diri kita, mendominasi kehidupan kita. Maka, fithroh (hati nurani) terhalangi oleh nafsu itu, maka muncullah penyakit-penyakit hati. Misalnya timbul sifat sombong, takabbur, merasa dirinya besar. Padahal dengan sifat kesombongan inilah iblis dilaknat oleh Allah. Akan timbul pula sifat dendam (tidak memafkan kesalahan orang lain). Padahal tanda ketaqwaan adalah memaafkan orang yang bersalah. (QS Ali Imron : 134)
Indikasi sosial dari ketaqwaan adalah saling memaafkan, saling berlapang dada. (QS An Nuur :22) yang maknanya : Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Maka sikap dendam, bahkan ada ungkapan “tiada maaf bagimu”, itu adalah sikap yang anti taqwa. Sikap orang bertaqwa adalah memaafkan, walaupun tidak diminta. Allah Afuwwun Ghofuur (Maha Pemaaf dan Maha Pengampun). Rasulullah SAW berpesan : Takhollaquu biakhlaaqillah (berakhlaklah kalian dengan sifat Allah).
Maka, marilah kita mengkhusyu’kan hati dalam dzikrulloh, untuk mengendalikan nafsu. Nafsu kita harus kita manfaatkan dengan sistem kendali iman dan taqwa, semoga akan membawa manfaat bagi kehidupan kita.
0 komentar:
Posting Komentar