DR dr Fuad Amsyari, MSc
Allah berfirman dalam surah Al Fath : 28, yang maknanya : Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. dan cukuplah Allah sebagai saksi.
Intisari dari ayat tersebut oleh Sayyid Qutb dipopulerkan dengan ungkapan Alislaamu ya'luu walaa yu'laa 'alaihi (Islam yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya). dengan ungkapan ini, mampu menggetarkan dan membakar semangat umat Islam di Mesir dalam menghadapi musuh-musuh Islam. Dan ini sebenarnya merupakan awal dari berdirinya Ikhwanul muslimin. Dengan semangat ini, umat Islam Mesir bisa mengatasi penjajahan Inggris pada saat itu. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, semangat itu bisa luntur dengan gemerlapnya dunia, sehingga, ada yang mengikuti ajaran-ajaran dan ideologi kafir. Dan ideologi itu dianggap lebih tinggi dari Islam. Maka terjadilah pertarungan di Mesir antara mereka yang menganut Ideologi Islam, dan menganggap Islam lebih tinggi dari ideologi apapun, dengan ideologi skulerisme. Dan banyak orang Islam yang terpengaruh karena penjajah Inggris yang sekian tahun di Mesir. Maka, persaingan terjadi. Dan umat Islam yang dimotori Ikhwanul Muslimin kalah. Dan kekuasaan dipegang oleh Jamal Abdul Naser, yang amat diktator, dan menekan serta menindas Ikhwanul Muslimin. Kekuasaan dipegang dengan tangan besi. Para pemimpin Islam dipenjara, bahkan dibunuh. Mirip kejadian yang menimpa negara Turki, yakni Kemal Attaturk. Namun, umat Islam di Mesir tidak putus asa. Mereka semakin memperkokoh persatuan. Hingga sekitar 60 tahun, Jamal Abdul Naser meninggal lalu diganti, namun, sampai beberapa kali pergantian masih meneruskan ideologi skuler tersebut. Alhamdulillah, beberapa tahun lalu kita dengar Arab Spring. Ikhwanul Muslimin membentuk partai kebebasan dan keadilan. Dan dengan dibantu oleh partai-partai Islam yang lain, mereka memenangkan pemilu. Parlemen diisi oleh orang-orang yang mengerti Islam. Dan pada tahun 2009-2010 kemaren berhasil menggulingkan rezim Hosni Mubarak yang telah berkuasa sekitar 30 tahunan juga. Keberhasilan ii membawa negara Mesir merubah segala tatanan hidup negaranya dan konstitusinya. Hasilnya pada pemilihan umum kemaren merupakan hal yang bersejarah di mana fihak Islam yang diwakili oleh Ikhwanul Muslimin menang, dan membawa nama Muhammad Muhammad Mursi Isa Al Ayyat sebagai presiden. Dan sekarang wajah Mesir berubah. Inilah sekelumit sejarah tentang ungkapan Alislaamu ya'luu walaa yu'laa 'alaihi.
Kejadian seperti di Mesir ini juga terjadi di banyak negara. Karena sekarang Umat Islam sudah sadar, bahwa sekularisme tidak bisa mensejahterakan rakyat secara merata. Sekularisme hanya mensejahterakan beberapa orang saja, terjadi ketimpangan yang amat jauh antara orang miskin dan orang kaya. Allah berfirman dalam surah Ali Imron : 13. yang maknanya : Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati.
Umat Islam yang semula lemah, bisa menang, karena bantuan Allah SWT. Ayat tersebut adalah terkait dengan perang Badar. Umat Islam yang dulunya lemah, menjadi menang karena Allah SWT. Setelah Rasulullah SAW memimpin Madinah, dan diteruskan Abu Bakar As Siddiq, Umar bin Khathob dan seterusnya,rakyat Madinah semakin makmur dan makmur. Karena kekuasaan di tangan orang yang benar, orang yang mengerti tentang syariat Allah, orang yang ahli dalam bidangnya. Pada saat itu, ketika Umar bin Khathob menjadi khalifah, Madinah semakin kaya dan makmur. Ada orang yang mengatakan kepada Umar : "Ya, amirul mukminiin, kita menjadi makmur dan kaya raya seperti ini karena rahmat Allah SWT". Umar marah, dan mengatakan : "Ingat, orang yang mendapatkan rahmat dari Allah itu, adalah orang yang keimanan dan ketaqwaannya semakin meningkat. Bukan semakin banyak hartanya. Karena bertambahnya harta itu bisa terjadi karena memang dia mencari dari detik ke detik, dari jam ke jam, waktu ke waktu". Bahkan Umar menangis, khawatir karena semakin bertambahnya kaya dan makmur, rakyatnya semakin menjauh dari Allah SWT. Sehingga, rahmat Allah itu jika keimanan dan ketaqwaan kita bertambah, hati kita semakin merasakan Allah dalam setiap aktivitas. Indikasi orang yang semakin beriman dan bertaqwa ada 3 hal : Pertama, orang tersebut semakin semangat dalam mencari kebenaran-kebenaran sesuai dengan Al Qur'an dan As Sunnah. Semakin bersemangat dalam menerapkan syariat Allah dalam kehidupan sehari-hari. Semangat memperdalam ilmu agama untuk diterapkan dalam hidupnya semakin hari semakin bertambah. Kedua, semakin luas dan banyak lingkup ajaran Islam yang dia praktekkannya. Islam mengharuskan untuk menjaga dua hal, hablum minallah (keterikatan dengan Allah) malakukan shalat, puasa, haji dan lain sebagainya. Dan hablum minan naas (keterikatan dengan sesama manusia). Hubungan kita dengan sesama tidak hanya bagaimana cara bergaul dengan sesama. Tetapi, bagaimana ukuran pergaulan itu diatur sesuai syariat Allah. Ini yang akan menjadikan Islam ya'luu walaa yu'laa 'alaihi (Islam yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya). Ketiga, orang tersebut mau berjuang menyebar luaskan Islam. Berkorban untuk mempromosikan kebenaran Islam.
Seminggu yang lalu saya tersentak membaca koran Republika. Artikel yang judulnya "Ternyata agama dan bahasa tidak menjamin keberhasilan". Dalam artikel tersebut dia mencontohkan dunia Arab masa sekarang, kurang apa mereka, bahasanya satu, yakni Arab, agamanya satu, Islam, Tetapi kenyataannya sekarang bertikai habis-habisan. Sayang, dia tidak menganalisa di mana letak salahnya. Padahal kalau kita teliti, penyebabnya adalah karena Islamnya tidak ideologis, Islamnya sekedar di permukaan. Karena Islam itu harus ideologis, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an surah Al Hujurat : 14 yang maknanya : Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" Jadi berislam itu berdasarkan motivasi dari hati nurani. Karena bisa jadi dia melakukan shalat dan syariat lainnya karena kultur, lingkungannya, orang tuanya, teman sekantor malakukan, sehingga dia juga ikut melakukan. Begitu diukur iman yang benar, maka semangatnya belajar Islam meningkat. Dalam situasi dan kondisi apapun dia selalu mencari, bagaimana al-Qur'an mengajarkan berdagang, bagaimana bekerja yang sesuai ajaran Islam, bagaimana memilih pemimpin yang sesuai syariat Islam dlsb.
Rasulullah SAW bersabda : Innamas sulthoonu dhilullah wa rumhuhu fil ardh (Sungguh pemimpin itulah sesungguhnya payung Allah, di muka bumi ini). Merekalah ujung tombak untuk menebar kebenaran dan kesejahteraan. Untuk itu, jangan salah dalam memilih pemimpin. Dengan pemimpin yang benar, barulah bisa mewujudkan alislaamu ya'luu walaa yu'laa 'alaihi (Islam yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya). Sebenarnya tidaklah sulit untuk memilih pemimpin yang berpenduduk sekian banyaknya ini. Yang menjadi pedoman adalah seberapa dia mengenal Islam, memahami dan mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Seberapa besar kontribusinya terhadap dakwah Islam. Ini yang perlu kita pertimbangkan.
Memahami Rahmat Islam
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS 21: 107). Ayat di atas sering dijadikan hujjah bahwa Islam adalah agama rahmat. Itu benar. Rahmat Islam itu luas, seluas dan seluwes ajaran Islam itu sendiri. Itu pun juga pemahaman yang benar. Sebagian orang secara sengaja (karena ada maksud buruk) ataupun tidak sengaja (karena pemahaman Islamnya yang tidak dalam), sering memaknai ayat tersebut diatas secara menyimpang. Mereka ini mengartikan rahmat Islam harus tercermin dalam suasana sosial yang sejuk, damai dan toleransi dimana saja Islam berada, apalagi sebagai mayoritas. Sementara dibaliknya sebenarnya ada tujuan lain atau kebodohan lain yang justru bertentangan dengan Islam itu sendiri, misalnya memboleh-bolehkan ucapan natal dari seorang Muslim terhadap umat Nasrani atau bersifat permisive terhadap ajaran sesat yang tetap mengaku Islam.
Islam sebagai rahmat bagi alam semesta adalah tujuan bukan proses. Artinya untuk menjadi rahmat bagi alam semesta bisa jadi umat Islam harus melalui beberapa ujian, kesulitan atau peperangan seperti di zaman Rasulullah. Walau tidak selalu harus melalui langkah sulit apalagi perang, namun sejarah manapun selalu mengatakan kedamaian dan kesejukan selalu didapatkan dengan perjuangan. Misalnya, untuk menjadikan sebuah kota menjadi aman diperlukan kerjakeras polisi dan aparat hukum untuk memberi pelajaran bagi pelanggar hukum. Jadi logikanya, agar tercipta kesejukan, kedamaian dan toleransi yang baik maka hukum Islam harus diupayakan dapat dijalankan secara kaffah. Sebaliknya, jangan dikatakan bahwa umat Islam harus bersifat sejuk, damai dan toleransi kepada pelanggar hukum dengan alasan Islam adalah agama rahmat.
Mencari Rahmat Islam
Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya. Dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu,” (QS al-Baqarah: 208). Ada banyak dimensi dari universalitas ajaran Islam. Di antaranya adalah, dimensi rahmat. Rahmat Allah yang bernama Islam meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia. Allah telah mengutus Rasul-Nya sebagai rahmat bagi seluruh manusia agar mereka mengambil petunjuk Allah. Dan tidak akan mendapatkan petunjuk-Nya, kecuali mereka yang bersungguh-sungguh mencari keridhaan-Nya. “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik,” (QS al-‘Ankabuut: 69).
Kejadian seperti di Mesir ini juga terjadi di banyak negara. Karena sekarang Umat Islam sudah sadar, bahwa sekularisme tidak bisa mensejahterakan rakyat secara merata. Sekularisme hanya mensejahterakan beberapa orang saja, terjadi ketimpangan yang amat jauh antara orang miskin dan orang kaya. Allah berfirman dalam surah Ali Imron : 13. yang maknanya : Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati.
Umat Islam yang semula lemah, bisa menang, karena bantuan Allah SWT. Ayat tersebut adalah terkait dengan perang Badar. Umat Islam yang dulunya lemah, menjadi menang karena Allah SWT. Setelah Rasulullah SAW memimpin Madinah, dan diteruskan Abu Bakar As Siddiq, Umar bin Khathob dan seterusnya,rakyat Madinah semakin makmur dan makmur. Karena kekuasaan di tangan orang yang benar, orang yang mengerti tentang syariat Allah, orang yang ahli dalam bidangnya. Pada saat itu, ketika Umar bin Khathob menjadi khalifah, Madinah semakin kaya dan makmur. Ada orang yang mengatakan kepada Umar : "Ya, amirul mukminiin, kita menjadi makmur dan kaya raya seperti ini karena rahmat Allah SWT". Umar marah, dan mengatakan : "Ingat, orang yang mendapatkan rahmat dari Allah itu, adalah orang yang keimanan dan ketaqwaannya semakin meningkat. Bukan semakin banyak hartanya. Karena bertambahnya harta itu bisa terjadi karena memang dia mencari dari detik ke detik, dari jam ke jam, waktu ke waktu". Bahkan Umar menangis, khawatir karena semakin bertambahnya kaya dan makmur, rakyatnya semakin menjauh dari Allah SWT. Sehingga, rahmat Allah itu jika keimanan dan ketaqwaan kita bertambah, hati kita semakin merasakan Allah dalam setiap aktivitas. Indikasi orang yang semakin beriman dan bertaqwa ada 3 hal : Pertama, orang tersebut semakin semangat dalam mencari kebenaran-kebenaran sesuai dengan Al Qur'an dan As Sunnah. Semakin bersemangat dalam menerapkan syariat Allah dalam kehidupan sehari-hari. Semangat memperdalam ilmu agama untuk diterapkan dalam hidupnya semakin hari semakin bertambah. Kedua, semakin luas dan banyak lingkup ajaran Islam yang dia praktekkannya. Islam mengharuskan untuk menjaga dua hal, hablum minallah (keterikatan dengan Allah) malakukan shalat, puasa, haji dan lain sebagainya. Dan hablum minan naas (keterikatan dengan sesama manusia). Hubungan kita dengan sesama tidak hanya bagaimana cara bergaul dengan sesama. Tetapi, bagaimana ukuran pergaulan itu diatur sesuai syariat Allah. Ini yang akan menjadikan Islam ya'luu walaa yu'laa 'alaihi (Islam yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya). Ketiga, orang tersebut mau berjuang menyebar luaskan Islam. Berkorban untuk mempromosikan kebenaran Islam.
Seminggu yang lalu saya tersentak membaca koran Republika. Artikel yang judulnya "Ternyata agama dan bahasa tidak menjamin keberhasilan". Dalam artikel tersebut dia mencontohkan dunia Arab masa sekarang, kurang apa mereka, bahasanya satu, yakni Arab, agamanya satu, Islam, Tetapi kenyataannya sekarang bertikai habis-habisan. Sayang, dia tidak menganalisa di mana letak salahnya. Padahal kalau kita teliti, penyebabnya adalah karena Islamnya tidak ideologis, Islamnya sekedar di permukaan. Karena Islam itu harus ideologis, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an surah Al Hujurat : 14 yang maknanya : Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" Jadi berislam itu berdasarkan motivasi dari hati nurani. Karena bisa jadi dia melakukan shalat dan syariat lainnya karena kultur, lingkungannya, orang tuanya, teman sekantor malakukan, sehingga dia juga ikut melakukan. Begitu diukur iman yang benar, maka semangatnya belajar Islam meningkat. Dalam situasi dan kondisi apapun dia selalu mencari, bagaimana al-Qur'an mengajarkan berdagang, bagaimana bekerja yang sesuai ajaran Islam, bagaimana memilih pemimpin yang sesuai syariat Islam dlsb.
Rasulullah SAW bersabda : Innamas sulthoonu dhilullah wa rumhuhu fil ardh (Sungguh pemimpin itulah sesungguhnya payung Allah, di muka bumi ini). Merekalah ujung tombak untuk menebar kebenaran dan kesejahteraan. Untuk itu, jangan salah dalam memilih pemimpin. Dengan pemimpin yang benar, barulah bisa mewujudkan alislaamu ya'luu walaa yu'laa 'alaihi (Islam yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya). Sebenarnya tidaklah sulit untuk memilih pemimpin yang berpenduduk sekian banyaknya ini. Yang menjadi pedoman adalah seberapa dia mengenal Islam, memahami dan mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Seberapa besar kontribusinya terhadap dakwah Islam. Ini yang perlu kita pertimbangkan.
Memahami Rahmat Islam
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS 21: 107). Ayat di atas sering dijadikan hujjah bahwa Islam adalah agama rahmat. Itu benar. Rahmat Islam itu luas, seluas dan seluwes ajaran Islam itu sendiri. Itu pun juga pemahaman yang benar. Sebagian orang secara sengaja (karena ada maksud buruk) ataupun tidak sengaja (karena pemahaman Islamnya yang tidak dalam), sering memaknai ayat tersebut diatas secara menyimpang. Mereka ini mengartikan rahmat Islam harus tercermin dalam suasana sosial yang sejuk, damai dan toleransi dimana saja Islam berada, apalagi sebagai mayoritas. Sementara dibaliknya sebenarnya ada tujuan lain atau kebodohan lain yang justru bertentangan dengan Islam itu sendiri, misalnya memboleh-bolehkan ucapan natal dari seorang Muslim terhadap umat Nasrani atau bersifat permisive terhadap ajaran sesat yang tetap mengaku Islam.
Islam sebagai rahmat bagi alam semesta adalah tujuan bukan proses. Artinya untuk menjadi rahmat bagi alam semesta bisa jadi umat Islam harus melalui beberapa ujian, kesulitan atau peperangan seperti di zaman Rasulullah. Walau tidak selalu harus melalui langkah sulit apalagi perang, namun sejarah manapun selalu mengatakan kedamaian dan kesejukan selalu didapatkan dengan perjuangan. Misalnya, untuk menjadikan sebuah kota menjadi aman diperlukan kerjakeras polisi dan aparat hukum untuk memberi pelajaran bagi pelanggar hukum. Jadi logikanya, agar tercipta kesejukan, kedamaian dan toleransi yang baik maka hukum Islam harus diupayakan dapat dijalankan secara kaffah. Sebaliknya, jangan dikatakan bahwa umat Islam harus bersifat sejuk, damai dan toleransi kepada pelanggar hukum dengan alasan Islam adalah agama rahmat.
Mencari Rahmat Islam
Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya. Dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu,” (QS al-Baqarah: 208). Ada banyak dimensi dari universalitas ajaran Islam. Di antaranya adalah, dimensi rahmat. Rahmat Allah yang bernama Islam meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia. Allah telah mengutus Rasul-Nya sebagai rahmat bagi seluruh manusia agar mereka mengambil petunjuk Allah. Dan tidak akan mendapatkan petunjuk-Nya, kecuali mereka yang bersungguh-sungguh mencari keridhaan-Nya. “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik,” (QS al-‘Ankabuut: 69).
0 komentar:
Posting Komentar