Peter Sanders : Tuhan Memilihkan Saya
Dunia Islam Oleh : Redaksi 04 May 2007 - 5:00 pm
''Assalamualaikum,'' ucap Peter Sanderssembari menjabat erat tangan wartawan Republika. Senyumnya segera tertebar ke seantero ruangan Auditorium Universitas Paramadina Mulia (UPM), Jakarta, Rabu (21/2), pekan lalu. Siang itu tubuh rampingnya dibalut kemeja dan tutup kepala biru khas Timur Tengah. Tapi sang fotografer kawakan itu sebetulnya lahir di London, Inggris, 61 tahun silam.
Di situlah Sanders memulai karir profesionalnya pada pertengahan 1960-an. Ia berdiri di gigir panggung para superstar: Bob Dylan, Jimi Hendrix, The Doors, The Who, atau Rolling Stones. Tapi Sanders merasa jiwanya kering. Akhir 1970 ia melakukan perjalanan spiritual ke India. Pulang ke Inggris setahun kemudian, ia masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Abd al-Adheem. :foto :video
Sanders tak lagi merasa kering. Islam memberi ruh pada pekerjaannya. Islam juga mengilhaminya sebuah jalan baru. Tahun itu juga Sanders pensiun memfoto selebritis dan memulai pengembaraannya ke negeri-negeri Muslim. Pada 1971 ia memotret Ka'bah dan lautan jemaah haji dari jarak dekat. Foto-foto spiritualnya dimuat di media-media utama Barat untuk pertamakalinya, seperti The Sunday Times Magazine atau The Observer.
Sanders atau Abd al-Adheem kini dikenal sebagai fotografer dunia Muslim terbesar -- mungkin satu-satunya. Dalam rentang 35 tahun ia mengarungi tak kurang dari 40 negara Islam, dari Jerussalem hingga Sudan. Lewat foto-fotonya ia menyodorkan jejak-jejak peradaban Islam yang agung, yang kerap membikin kita merasa kagum sekaligus masygul.
Pekan lalu Sanders datang ke Jakarta untuk menggelar pameran foto The Art of Integration Islam: In Britain's Green and Pleasant Land di kampus Paramadina. Pameran serupa sudah digelar di 25 negara termasuk di Tel Aviv, Israel. Berikut petikan wawancara Sanders dengan Iman Yuniarto F dari Republika.
Setelah perjalanan ke India pada 1971, Anda masuk Islam. Bagaimana ceritanya?
Ketika usia 20 tahunan, saya bertanya tentang mati. Usaikah diri kita setelah mati? Pertanyaan itu terus menghantui saya. Akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan karir saya di musik. Saya pergi ke India. Saya belajar Hindu, Budha, Sikh dan Islam.
Mengapa Islam yang Anda pilih?
Saya tidak tahu persis. Tuhanlah yang memilihkan untuk saya. Tapi, ada peristiwa yang amat berkesan saat di India. Di suatu pagi saya menunggu kereta api di stasiun. Orang amat berjubel dan hiruk pikuk. Di tengah keramaian itu, seorang ibu tiba-tiba menggelar tikar di dekat saya. Ia lantas melakukan gerak shalat di situ. Ini mengejutkan. Saya belum pernah melihat ini sebelumnya.
Saya bertanya kepada seorang anak muda, ''Apakah ini?'' Ia menjawab, ''Ini nenek saya. Dia seorang Muslim. Ia sedang shalat.'' Barangkali ini sebuah petunjuk. Allah memberi momen fotografis tersebut agar saya terus merekamnya dalam ingatan.
Ketika saya kembali ke Inggris, teman-teman lama saya banyak yang terjerumus narkoba. Namun, beberapa teman ada yang menjadi Muslim dan tak ikut-ikutan terbelit. Dari sini saya seperti memperoleh petunjuk: inilah jalan yang harus saya tempuh.
Setelah itu saya menemukan titik balik. Tiga bulan setelah masuk Islam saya naik haji ke Mekkah. Hingga akhirnya saya pergi nonstop ke 40 negara Islam yang berbeda.
Belahan dunia Muslim mana yang paling menarik bagi Anda?
Itu pertanyaan yang sering saya peroleh. Jawaban saya selalu sama: Inggris. Saya mengunjungi seluruh pelosok Inggris dan saya menyadari saya menyukai Inggris. Tentu saja saya menyukai tempat-tempat lain. Saya tiga kali pergi ke Cina. Saya akan pergi ke sana lagi tahun ini. Ya, seluruh dunia amat menarik. Setiap negara memiliki kekhasan masing-masing.
Berapa lama waktu yang Anda habiskan untuk sekali perjalanan pemotretan?
Sangat bervariasi. Saat masih muda saya bisa menghabiskan waktu hingga enam bulan di satu negara. Tapi saat ini saya membatasi hanya dua minggu. Terutama di daerah-daerah yang sulit.
Kesan Anda tentang peradaban Muslim di Indonesia?
Saya belum pernah melakukan sesi pemotretan di sini. Mungkin nanti. Tentunya saya tak bisa menilai Indonesia cuma dari Jakarta saja. Tapi satu hal, orang Indonesia sangat murah senyum. Ini membuat saya nyaman.
Anda pergi ke banyak negara. Pernah mendapat hambatan saat memfoto?
Ada beberapa lokasi di mana memfoto dilarang. Di Saudi Arabia misalnya. Tapi, fotografi telah menjadi bagian hidup saya. Anda bisa saja dilarang, ditangkap, tapi Anda lantas dibebaskan lagi, ha ha ha....
Apa tips Anda dapat berbaur dengan beragam penduduk di beragam negara?
Cukup dengan murah senyum. Saya berupaya membuat sebuah hubungan. Tapi, percaya atau tidak, manusia itu memang ajaib. Semakin miskin seseorang, semakin murah hati dia. Di Cina, saya bertemu dengan seorang nenek Muslim umurnya sekitar 90 tahun. Mengetahui saya Muslim, ia ingin mengundang saya ke rumahnya.
Saya datang ke situ. Tapi tidak ada apa-apa di rumahnya. Cuma ada selembar kasur tipis dan seekor kucing yang kurus. Namun Islam mengajarkan untuk memuliakan tamu. Dalam keramahtamahan sejati seorang Muslim, ia tetap berusaha menghidangkan saya makanan. Di negara di mana saya dilahirkan, orang cenderung amat privat. Mereka takkan mengundangmu datang ke rumahnya di pertemuan pertama. Ini hal menarik yang kita temui pada orang-orang miskin di dunia ini. Mereka justru sangat murah hati, dengan kondisi yang mereka miliki.
Foto-foto dunia Muslim karya Anda dipublikasikan di banyak media Barat. Apa sebetulnya yang Anda harapkan dari pemuatan itu?
Banyak peristiwa yang menanam kebencian terhadap Islam. Peristiwa 11/9 di AS dan bom 7/7 di Inggris. Ini membuat orang takut. Tapi Anda harus tahu, bahwa mayoritas orang Islam di dunia ini cinta damai. Islam itu sendiri berarti damai. Mengasosiasikan Islam dengan kekerasan adalah keliru.
Saya berusaha membangun sebuah tali (hubungan). Saya orang Inggris, saya lahir di London. Saya respek terhadap Islam. Islam agama besar yang sangat mendalam. Saya bertemu dengan banyak orang Islam. Saya yakin yang terbaik di antara mereka adalah yang melaksanakan Islam dengan benar.
Saya bertemu dengan orang-orang yang beribadah dengan serius dan belajar keras tentang Islam. Dan, saya melihat mereka benar-benar mampu mengubah diri mereka. Mereka tidak picik, terbuka, dan murah hati. Inilah Islam yang sebenarnya.
Tapi, hal ekstrem terjadi, lalu dikait-kaitkan dengan Islam. Ini bukanlah Islam itu sendiri. Itu cuma politisasi atas Islam saja. Saat ini kita memiliki problem terhadap orang-orang yang mengambil sedikit saja dari Islam, tidak keseluruhannya.
Alquran menyatakan bahwa kasih sayang adalah yang utama. Bismillahirrohmanirrahim adalah yang pertama. Inilah wajah Islam yang harus tampak. Saya ingin menunjukkan sisi tersebut.
Anda lebih suka mengabadikan sisi indah dunia muslim atau mengatakan apa adanya?
Saya berusaha memotret gambar-gambar positif. Saya berupaya menonjolkan keindahaan dari orang-orang ini. Kita butuh keindahan dalam hidup ini. Tuhan juga menyukai keindahan. Saya sering berada di tengah-tengah masyarakat muslim yang miskin. Tapi saya yakin, tetap ada kemurahan dan keindahan di tengah orang-orang ini.
Setelah banyak bertualang, bagaimana pandangan Anda tentang masyarakat muslim?
Banyak budaya bisa hidup dalam Islam, Islam itu seperti air sungai yang jernih. Ketika ia mengalir di atas batu hitam, maka air itu akan berwarna hitam. Jika melewati batu berwarna kuning, maka ia pun akan berwarna kuning. Karena itu di Afrika, Islam adalah Afrika. Di Inggris, Islam adalah Inggris. Di Cina, Islam adalah Cina.
Salah satu proyek Anda adalah mendokumentasikan masyarakat Islam tradisional. Mengapa?
Saya bertualang 35 tahun. Saya menemukan bahwa Islam tumbuh subur dalam lingkungan tradisional menciptakan masyarakat yang khas. Tapi gambaran itu mulai pudar di zaman moderen. Mereka beranjak punah. Anda hanya akan menemui Islam tradisional di beberapa tempat. Di Mauritania atau Hadramaut misalnya. Amat banyak ulama di sana. Orang-orang saling menjaga dan terhubungkan dalam sense spiritual yang amat tinggi.
Hal itu tak saya dapati di Barat. Saya berusaha membawa anak-anak saya ke dalam suasana seperti itu. Tapi lingkungan memborbardir mereka. Apa yang bisa saya lakukan? Saya tidak bisa memaksa. Tidak ada paksaan dalam Islam. Kebenaran harus datang melalui pemahaman. Saya lihat di Indonesia terdapat keseimbangan antara yang modern dan yang tetap memegang nilai-nilai tradisional.
Sebagai salah satu fotografer legendaris, Sanders terbilang unik: ia tak pernah mengenyam pendidikan fotografi. Sanders belajar secara otodidak. Kursus fotografi pertama Sanders justru dilakukan akhir 1990 di Swiss, atau tiga dasawarsa setelah ia malang melintang di jagad fotografi. ''Itu pun karena saya mendapat projek di Arab Saudi yang menuntut penggunaan kamera format besar,'' tutur dia.
Sanders muda mengaku sering kesulitan uang. Tapi ia berani berspekulasi dengan menjadi seorang fotografer. Ia menjajakan karya-karyanya ke penerbitan, koran, majalah, atau sampul album musik. Sanders mengaku menuruti panggilan hatinya untuk terjun ke dunia fotografi. Lantaran hobi, ia merasa bakal mampu survive di situ tanpa harus memiliki titel mentereng. Saat ini Sanders memiliki Peter Sanders Photography Library. Ini semacam pepustakaan yang mendokumentasi karya Sanders sepanjang 35 tahun di dunia muslim. Ada lebih 250 ribu foto dalam bentuk digital di situ. Ia menjualnya untuk keperluan majalah atau buku-buku tentang Islam.
Anda tidak mencantumkan tahun lahir di website Anda. Kenapa?
Sengaja. Bukan rahasia jika umur saya sekarang sudah 60 tahun. Tapi saya tak ingin terlalu terobsesi dengan umur. Ini membuat saya selalu siap untuk melakukan apa saja. Saya tidak ingin membatasi diri saya sendiri. Ketika saya pergi ke Cina, seorang penumpang yang tengah duduk, tiba-tiba berdiri, dan memberikan kursinya pada saya. Saya sempat ragu (apa maksud dia sebenarnya). Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Lalu saya bertanya pada seseorang. Anda pikir umur saya berapa? Dia menjawab 80 tahun, ha ha ha....
Tahun ini Sanders akan meluncurkan sebuah album kompilasi berjudul /Meeting with the Mountain. Sebuah album tentang wajah para muslim dunia. Ada ulama, spiritualis, kebanyakan malah cuma orang-orang biasa yang belum pernah difoto. Mereka, kata Sanders, adalah orang muslim yang cinta damai, religius, sederhana, dan tersembunyi. ''Saya ingin memberi gambaran yang benar tentang Islam. Selama ini wajah Islam selalu dibayang-bayangi politik,'' katanya.
Toh, Sanders juga menunjukkan bahwa Barat masih menyisakan ruang toleransi yang besar untuk Islam. Karya fotonya, Mass for Peace, adalah pesan yang kuat soal itu. Foto tahun 2005 itu menangkap pemandangan seorang imam mesjid bernama Imran Golding yang tengah melantunkan adzan. Uniknya adzan tersebut dilakukan di dalam sebuah katedral besar di Salisbury Inggris.
Saat itu di katedral sedang digelar konser musik oleh komposer Karl Jenkins yang diiringi 150 penyanyi. Tapi Jenkins secara khusus mengundang Golding. Yang terasa menggetarkan, menurut Sanders, adalah suasana hening dan khusuk di katedral. Orang-orang mendengarkan Golding dengan khidmat. Salah seorang lalu berdiri dan menyalami Iman Golding seraya mengatakan bahwa lantunan adzan tadi sangat indah. (RioL )
0 komentar:
Posting Komentar